Menjadi ibu dari tiga orang anak
yang masih bayi dan balita serta berdekatan usianya, bukan hal yang mudah buat
saya. Segala teori parenting yang pernah saya baca, menguap seketika saat
dihadapkan pada prakteknya. Ketiga anak saya, Ismail (5 tahun), Sidiq (4
tahun), dan Salim (5 bulan), adalah guru pertama saya dalam menjadi orang tua.
“Mommy Gurita,” itu julukan dari
seorang sahabat, kepada saya. Bukan saja mengasuh ketiga anak itu sendirian,
saya juga masih sempat-sempatnya menulis. Menulis bukan lagi menjadi hobi,
tetapi profesi. Sejak remaja, saya sudah menghasilkan uang dari menulis.
Beberapa buku saya juga sudah diterbitkan. Setelah punya anak, otomatis
kegiatan menulis itu harus banyak dikompromikan dengan anak-anak.
Sebagai penulis, tentu saja saya
juga hobi membaca. Ibu mertua saya pernah bersungut-sungut saat memasuki rumah
saya, “itu kok buku ada di mana-mana….” Buku-buku saya memang bertebaran di
mana-mana. Anak-anak saya juga sudah terbiasa bermain dalam kubangan buku.
Alhamdulillah, mereka jarang merobek-robek buku saya. Ada dua buku yang “tewas”
di tangan mereka: buku tentang kehamilan dan buku tentang pengasuhan anak :D
Berhubung
waktu saya harus dibagi lima: suami, tiga anak, dan menulis, maka saya harus
pintar-pintar membagi waktu. Sambil menulis, anak-anak bermain dalam kubangan
buku. Semua buku anak sudah saya bacakan saat mendongeng sebelum tidur.
Anak-anak bahkan sudah hapal isi bukunya dan bercerita kembali sambil melihat
bukunya seakan-akan mereka sudah bisa membaca. Saya mengajari mereka melalui
buku. Selain itu, saya ajarkan mereka memegang pulpen dan menuliskannya di
kertas. Tembok rumah saya pun penuh coretan, dan tidak ada omelan yang keluar
dari mulut saya. Toh, temboknya
belum dicat sempurna.
Ketika Ismail dan Sidiq masuk PAUD, tiga bulan lalu, guru-guru dan para orang tua lain terkagum-kagum melihat anak-anak saya yang sudah terampil memegang pulpen, menulis angka dan huruf, menggambar banyak benda, dan bercerita. Kalau gurunya sedang bercerita, Ismail antusias mendengarkan dan ikut bercerita. Kata seorang ibu, anak saya (Ismail) pendiam, tapi kalau sudah waktunya mendengarkan cerita, Ismail seketika cerewet, ikut bercerita dengan ibu gurunya. Ibu itu bertanya, apakah saya rutin mengajari anak-anak saya menulis dan membaca?
Hm… saya tersenyum, meski sedikit
merasa bersalah. Setelah punya bayi lagi, saya jadi jarang mendampingi
anak-anak belajar. Tapi, karena mereka sudah dibiasakan dengan buku dan kertas,
otomatis mereka belajar dengan sendirinya. Anak-anak
saya kecanduan belajar dan menulis. Kalau ke warung, bukan mainan atau makanan
yang diminta, tetapi buku dan alat tulisnya.
Buku-buku yang saya berikan,
tentu saja buku-buku yang bermuatan pendidikan. Ada juga buku belajar
berhitung, membaca, menggambar, dan menulis huruf/ angka. Ismail dan Sidiq
senang sekali mempelajarinya. Dipelajari sambil bermain, banyak buku yang rusak
karena selalu dibawa ke mana-mana sampai bosan. Kebiasaan kecil yang saya tanamkan
sejak mereka masih bayi itu, rupanya melekat terus sampai mereka masuk sekolah.
Saya merasa terbantu dengan buku-buku itu dalam mendidik anak-anak. Anak-anak
saya tidak benar-benar “buta” ketika masuk sekolah.
waw waw kereeen!!
ReplyDelete