Sunday 22 November 2015

Untuk Guru Anak-anak Saya, Terima Kasih atas Pengabdianmu



Suatu ketika, saya bertanya kepada Ismail,
“Kakak, gimana bu gurunya, ada yang galak nggak?”
Ismail menjawab, “enggak. Ustazah nggak ada yang galak, kok.”
“Bener nggak ada yang galak?” saya memastikan.
“Enggak. Ustazah baik semua.” Ismail memanggil guru-gurunya dengan sebutan “Ustazah” dan “Ustaz,” itu bahasa Arab untuk “Guru.” 


Alhamdulillah…. Saya lega mendengar jawaban jujur Ismail. Setelah beberapa bulan masuk sekolah dasar, saya merasa perlu menanyakan hal tersebut karena khawatir dengan kejadian-kejadian bullying.  Memang, tugas ibu mendidik anak-anaknya, tetapi saya juga membutuhkan bantuan orang lain, dalam hal ini adalah guru, karena mereka bisa melengkapi kekurangan-kekurangan saya dalam mendidik anak-anak. Kini, setelah 1,5 tahun bersekolah di SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), Ismail sudah hapal doa-doa salat, sudah mau diajak salat, sudah hapal beberapa doa harian, dan yang lebih menakjubkan, dari segi akhlaknya jauh lebih baik daripada orangtuanya. 

Suatu ketika, Ismail yang baru selesai makan cemilan, kebingungan mencari tempat sampah. 

“Mah, ini buang di mana?” tanyanya.

Saya yang sedang kerepotan memegangi adiknya, dan akan naik ke atas motor setelah mampir di sebuah warung, menjawab dengan asal, “Itu di selokan aja tuh. Banyak sampahnya di sana.” Sebenarnya saya tahu, membuang sampah sembarangan itu tidak boleh, tapi memang sayanya saja yang sedang “bandel”. Di selokan itu sudah menumpuk sampah dari orang-orang yang bandel seperti saya. Ismail tidak mau menuruti perintah saya. Dia masih memegangi sampah cemilannya. 

“Di mana sih ini buangnya? Di sini nggak ada tong sampah,” ia kecewa. Di sekolahnya, tempat sampah ada di mana-mana dan dibedakan: organik dan non organik. Ismail tertib sekali membuang sampah, sehingga dia tak enak hati membuang sampah sembarangan. 

“Ustazah bilang, kita nggak boleh buang sampah sembarangan,” katanya, menyentil telinga saya. 

“Oh iya, betuul… Sini, sampahnya taruh di motor saja. Nanti kita buang kalau sudah nemu tong sampahnya ya.” Saya ambil sampah itu dan meletakkannya di laci motor. 


Setiap Ismail melakukan kesalahan, dengan sadar dia akan segera beristighfar, salah satu bentuk hukuman yang diterapkan oleh para guru di sekolah Ismail kepada anak-anak yang bersalah. Bukan dengan kekerasan verbal dan nonverbal. Lain waktu, ibu guru Ismail mengembalikan uang jajan Ismail kepada saya saat pulang sekolah, dengan bisikan: 

“Bu, jangan bilang ke Ismail ya kalau uang jajannya saya kembalikan. Tadi uang jajannya saya sita, karena Ismail naik-naik ke atas meja. Itu salah satu bentuk hukuman, karena kami tidak mau menghukum dengan kekerasan.” 

Sejak itu, Ismail tidak mau naik-naik ke atas meja lagi, karena dia tidak mau uang jajannya disita. Sekolah memiliki kantin sendiri dengan makanan dan minuman yang telah diseleksi kebersihan dan kesehatannya.

Adik Ismail, Sidiq, juga sekolah di sekolah yang sama. Gurunya pernah mengirimkan foto-foto kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di luar kelas dengan catatan, “ini sedang belajar di luar kelas, supaya anak-anak nggak bosan, Bunda. Mereka gembira sekali.” 

Saya pun gembira memandangi foto-foto itu. Terlihat gambar anak-anak yang ceria menjalani proses belajar mengajar. Komunikasi antara guru dan orangtua pun terjalin akrab melalui whatsapp. Terima kasih, bapak dan ibu guru telah membantu saya mendidik anak-anak. Engkau bukan hanya pahlawan untuk anak-anak saya, tapi juga pahlawan saya. 



8 comments:

  1. Guru sekarang melek teknologi ya mbak, jadi setiap kegiatan bisa diabadikan dikirim ke orang tua.

    ReplyDelete
  2. Sepertinya Guru dan sekolah IT memang sudah punya standar baku ya mbak. Pengalamanku anak-anak sekolah di IT juga begitu. Benar-benar guru mengabdi tulus, dengan niat ibadah dan berdakwah.

    ReplyDelete
  3. asyiknya belajar di luar kelas hehehe...gurunya pasti punya suara yang cukup keras tapi tetap lembut :)

    ReplyDelete
  4. Hihihi...
    Mama jadi malu sama Ismail.

    Gurunya keren yah. Selain teori ada prakteknya juga jadi bisa meninggalkan jejak di otak anak

    ReplyDelete
  5. Pingin ikut sentil juga deh mamanya Ismail yang nyuruh Ismail buang sampah ke selokan.

    ReplyDelete
  6. Anak-anak shalih.... doain tente punya anak shalih juga ya.. :*

    ReplyDelete
  7. ternyata masih ada ya mak, guru yg bnr2 memiliki niat dan sungguh2 dlm mendidik murid2nya. alhamdulillah.
    abang ismail emang keren dah ah

    ReplyDelete
  8. sekrang ngobrol aau bertanya tentang anak sm guru bisa kapan aja ya n ga perlu datang ke sekolah ...tinggal WA an heheheh

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^