Monday 31 August 2015

Berkah di bulan Agustus, Suami yang Diberkahi



Tanggal 9 Agustus lalu, suami saya berulangtahun. Menjelang dini hari, saya elus pipinya dan saya kecup keningnya, lalu mengucapkan selamat tambah umur. Saya juga bertanya, “Mau dikasih hadiah apa, nih?” Suami saya menjawab dengan mata masih terpejam, “Nggak usah kasih apa-apa.”


Ah, dia memang begitu. Sejak tahun pertama kami menikah, dia tidak pernah mau dikasih hadiah. Sebaliknya, dia sering memberi saya hadiah, bahkan di saat saya sedang tidak berulangtahun. Bagi saya, kehadiran seorang suami adalah berkah terindah yang diberikan Allah Swt kepada saya. Dari sejak dia melamar saya menjadi seorang istri, sampai menjalani hari-hari bersamanya dalam suka maupun duka. 

Rumah tangga kami tidak serta merta dikaruniai banyak kemudahan. Semua berjalan setapak demi setapak. Tidak selalu berada dalam kondisi damai, pernah juga berselisih paham dan bertengkar. Di awal pernikahan, saya bahkan beberapa kali pulang ke rumah orangtua saat sedang bertengkar dengan suami. Saya menikah dengan suami tanpa pacaran dan sama sekali “blank” dengan sikap, sifat, dan karakter suami. Saya dan dia berbeda 180 derajat, dan membutuhkan waktu adaptasi yang cukup panjang. 

Suami yang Membantu Mengasuh Anak-anak
Di sosial media sedang gencar status tentang seorang perempuan yang ingin dipoligami oleh suami orang. Kalau tidak salah, bunyi statusnya seperti ini: “Lihat bapak-bapak ganteng lagi nyuapin anaknya, sementara istrinya pilih-pilih baju, jadi pengen bisikin ke telinganya, Pak, poligami itu boleh lho dalam Islam.” 

Hehehe… ketika ibu-ibu lain “panas” ingin “menonjok” si perempuan pembuat status itu, saya malah ketawa-ketawa. Status itu menunjukkan bahwa bapak-bapak yang mau ikut mengasuh anak itu ternyata menjadi dambaan gadis (gadis) muda. Tadinya status itu dibagikan oleh seorang bapak (seleb facebook) sebagai peringatan untuk para istri atau hanya sekadar candaan. Maksudnya barangkali begini, “Istri-istri, hati-hati lho, siapa tahu suamimu yang ganteng sedang jadi incaran gadis-gadis muda, apalagi kalau kamu menyuruh suamimu mengasuh anak.” 

Ibu-ibu pun panas, “Lah memangnya kenapa kalau bapak-bapak ikut mengasuh anak? Kan istrinya udah cape ngurus anak selama bapaknya kerja. Wajar dong kalo  bapaknya gantian ngurusin….” Rata-rata ibu-ibu berkomentar seperti itu. Ada pula komentar-komentar yang lebih lucu, seperti “siapa tahu itu bukan bapaknya, tapi supir,” atau, “siapa tahu bapaknya pengangguran, jadi wajar dong kalau ngurusin anak.” 

Alhamdulillah, suami saya bukan pengangguran dan tetap membantu mengurus anak, walaupun istrinya hanya ibu rumah tangga yang suka tidur, ups…. Yah, tapi itu bukan sudah dari sananya. Semua butuh  proses dan waktu untuk membuat suami saya menjadi seperti itu (membantu mengurus anak-anak). Saya masih ingat, ucapan suami saya saat taaruf (proses perkenalan sebelum menikah). Dia mengatakan, “Saya nggak bisa dekat sama anak kecil.” 

Jujur banget, yah? Xixixi… Alhamdulillah, itu salah satu sifat baik suami saya. Saking jujurnya, dia tidak pernah berpura-pura mengatakan bahwa istrinya langsing (padahal gendut), istrinya mulus (padahal jerawatan), istrinya kalem (padahal cerewet), dan itu bikin saya mesti nahan napas terus saking kesalnya karena dibilang gendut, jerawatan, dan cerewet. 

Nah, dia jujur mengatakan bahwa dia tidak bisa dekat dengan anak kecil. Setelah menikah, ucapannya itu memang terbukti. Sekarang sudah jauh berbeda. Suami saya sudah tidak keberatan lagi mengasuh anak-anak, bahkan seorang diri bila saya minta izin ke luar rumah. Suami saya sering memandikan, menyuapi, mengajak bermain, mengajak jalan-jalan (tanpa saya), bahkan menyeboki. Perubahan itu bukan terjadi tanpa diusahakan. 

Komunikasi itu penting sekali. Istri jangan ragu untuk mengatakan ketidaksukaan dan keinginannya kepada suami. Saya juga memberikan artikel yang bagus banget, tapi saya lupa keseluruhan isinya saking panjangnya. Kira-kira isinya begini nih,

“Ayah, suapkanlah aku, supaya nanti aku juga menyuapimu saat kau sudah tua.”
“Ayah, ajaklah aku bicara, supaya nanti aku juga tidak lupa mengajakmu bicara saat kau sudah tua.”
“Ayah, mandikanlah aku, supaya nanti aku mau memandikanmu saat kau sudah meninggal.” 

Dan masih panjang lagi isi artikelnya, yang membuat saya tak tahan menitikkan airmata. Itu artikel yang sangat menyentuh. Setelah membacanya, keesokan paginya, suami memandikan anak-anak kami sambil bicara ke mereka, “Ayah mandiin kalian. Nanti kalian juga mandiin Ayah ya kalau Ayah sudah meninggal.”

Aaargh, mata saya seketika berkaca-kaca. Akhirnya, suami saya bisa dekat dengan anak-anak. Malah anak ketiga, si bungsu ini, kalau ayahnya pulang terlambat sedikit saja, sudah ribut bertanya, “Ayah mana? Ayah mana?” 

Jadi, kalau masih ada ibu-ibu yang merasa suaminya kurang membantu mengasuh anak-anak, barangkali komunikasinya masih kurang dan perlu ditingkatkan lagi. Saya yakin, tidak banyak suami yang dikaruniai bakat alam “suka mengasuh anak-anak.” Sebagian besar suami, perlu belajar untuk itu. Jangankan suami, istri saja harus belajar dulu untuk bisa mengasuh anak-anak. Istri mesti menjadi partner suami dalam mendekatkan hubungan antara ayah dan anak-anaknya. Jangan sampai anak merasa tidak punya ayah. Jika hubungan ayah dan anak-anaknya dekat, itu juga akan berdampak positif kepada kita sebagai seorang istri. Ketika suami—mungkin—punya lintasan untuk menyakiti hati istri dengan berselingkuh atau apalah, suami akan mengingat anak-anaknya, “Kalau saya menduakan ibu mereka, kasihan juga nanti anak-anak kalau ibunya jadi stress.”

Karena itulah, saya merasa diberkahi memiliki suami yang tak sungkan meringankan tugas istri dalam mengasuh anak-anak.  

Suami yang Menafkahi Istri dengan Baik
Saya sungguh-sungguh prihatin dengan rencana perceraian sepasang artis yang baru menikah tiga bulan lalu dan sang istri sedang hamil dua bulan. Di infotainment, sang istri mengatakan bahwa salah satu penyebab konflik rumah tangganya adalah karena sang suami tidak memberikan nafkah. Soal nafkah ini memang sensitif, kita semua juga paham bahwa suami wajib memberikan nafkah. Sayangnya, tidak ada berita penyeimbang dari kubu sang suami, jadi kita tidak tahu apakah tuduhan istrinya itu benar. 

Alhamdulillah, suami saya telah menyempurnakan kewajibannya memberikan nafkah keluarga. Semua kebutuhan keluarga kami telah dipenuhi. Bahkan, bila saya tidak bekerja pun, suami sanggup memenuhi. Asal saya mau lebih hemat, hehe…. Namun, itu bukan pula tanpa proses. Yap, lagi-lagi, intinya adalah komunikasi. Istri-istri Nabi juga pernah meminta tambahan nafkah dari Rasulullah Saw, lho. Jadi, tak ada salahnya istri mengatakan sejujurnya bahwa uang belanja yang diberikan oleh suaminya itu tidak cukup. Apalagi kalau suami tidak memberikan nafkah, istri wajib meminta. Yang penting, jangan memaksa. Bila suami memang tidak punya uang lagi, kita harus mengerti dan mencoba mencari jalan bagaimana agar nafkah dari suami  bisa cukup untuk sebulan. 

Sebagai istri, kita juga harus memiliki sikap Qona’ah (merasa cukup dengan apa yang diberikan). Materi itu tidak pernah terasa cukup jika kita tidak merasa cukup. Sudah kaya pun, pasti masih merasa kekurangan. Seorang istri adalah manajer keuangan dalam keluarga yang harus bisa mengelola pemberian suami agar cukup. Kalau kurang dan merasa suaminya masih punya kelebihan rezeki, kita berhak meminta penambahan. Tapi kalau suami memang sudah tidak punya, ya kita kembali lagi kepada sikap Qona’ah itu. 

Ketika istri-istri Rasulullah Saw meminta penambahan nafkah dan Rasulullah benar-benar tak bisa memberikan, maka Rasulullah meminta istri-istrinya memilih dirinya atau harta? Jika istri-istrinya memilih harta, Rasulullah tak segan menceraikan mereka. Istri-istri Rasulullah tentu saja memilih Rasulullah, karena apalah artinya harta yang tak sebanding dengan kemuliaan berada di sisi Rasulullah?

Karena itulah, saya merasa diberkahi memiliki suami yang menunaikan kewajibannya memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dan anak-anaknya. 

Suami yang Mendukung Karir Istri
Kalau ditanya karir saya apa? Selain menjadi ibu rumah tangga penuh waktu di rumah, saya juga menyambi sebagai penulis lepas. Nulis apa saja yang saya bisa. Suami sudah tahu profesi sampingan saya itu dari sebelum menikah. Dia membaca tulisan-tulisan saya di blog (saat itu masih Multiply), yang justru semakin memantapkannya memilih saya sebagai istri (karena banyaknya informasi mengenai saya :D). Saya kira, itu berarti kelak dia akan mendukung karir kepenulisan. 

Suami tidak melarang saya untuk menulis, tetapi dia melarang saya menulis kehidupan pribadi, terutama setelah menikah. Padahal, inspirasi datang dari mana saja, termasuk kehidupan pribadi. Yang penting kita pandai memilah dan memilih, mana yang baik untuk dibagikan, mana yang sebaiknya disimpan untuk sendiri. Sayangnya, saya malah jadi mandeg menulis karena khawatir apa yang menurut saya baik, ternyata tidak baik menurut suami saya. Suami sempat memantau blog saya dan kalau saya sudah bercerita sedikit tentang kami, dia langsung menyuruh saya untuk menghapusnya. Waduuuh! 

Akhirnya, saya memilih untuk berhenti menulis sampai tiga tahun. Saat itulah suami melihat saya seperti orang yang tidak bersemangat, muram, dan tak bergairah. Solusinya? Komunikasi. Lagi. Setelah menahan gejolak itu cukup lama, saya pun menceritakan semua kegundahan itu, bahwa saya rindu menulis. Saya merasa bosan di rumah. Saya ingin punya aktivitas lain selain menunggui anak-anak. Saya ingin menulis tanpa dimata-matai. 

Kejutaaan…. Tiba-tiba suami menghadiahkan saya sebuah modem. Modem pertama yang menyambungkan saya dengan dunia luar. Suami juga rutin mengisikan pulsa internet. Suami membukakan akun facebook, bahkan menyarankan saya untuk membuat blog di blogspot. Suami juga yang menyuruh saya untuk punya domain pribadi, tapi saat itu saya abaikan karena saya belum tergerak untuk ngeblog. Saya hanya menulis di notes-notes facebook, sampai kemudian berkenalan dengan ibu-ibu blogger dan mulai aktif ngeblog. Buku-buku saya pun bermunculan kembali dan dua di antaranya berisi kisah saya dan suami, hihihi.... Judulnya: Rahasia Pengantin Baru (ehm!) dan Catatan Hati Ibu Bahagia (yang kemudian saya jadikan judul blog ini). Saat buku Rahasia Pengantin Baru itu terbit, suami membacanya sekilas. Mulanya saya khawatir dia marah karena saya sudah menceritakan sedikit tentang proses pernikahan kami, ternyata dia malah senyum-senyum dan bilang, "Aku mau pajang buku ini di meja kerjaku, ah. Nanti aku bilang ke teman-teman, istriku nulis ini buat aku." Hiks, saya terharu, ternyata suami tidak marah tapi malah bangga. Suami pula yang membukakan akun Linkedin, Twitter, Path, dan Instagram.
Ada kisah pengantin baru saya di sini lho :D
Buku yang isinya curhat di tahun pertama menjadi IRT

Ketika komputer saya rusak, suami pula yang membelikan laptop baru, benar-benar dari uang suami, bukan uang saya, meskipun saya punya royalti dari penjualan buku-buku saya. Ketika modem yang lama rusak, suami juga yang membelikan modem baru. Modem yang sekarang saya pakai adalah modem ketiga yang dibelikan oleh suami. Ketika saya ingin sesekali mengikuti kegiatan kepenulisan di luar dan atau kegiatan-kegiatan blogger gathering, suami akan mendampingi atau menggantikan tugas pengasuhan anak. Syaratnya, kegiatan itu dilakukan saat akhir pekan, karena hari-hari biasa kan suami bekerja di kantor.
Suami menemani saya ke sebuah acara blogger

Sudah beberapa kali suami mengantarkan saya ke tempat acara, dengan membawa anak-anak. Selagi saya mengikuti kegiatan, baik itu sebagai pembicara dalam pelatihan kepenulisan ataupun sekadar menjadi peserta di acara blogger gathering, suami menunggui anak-anak di tempat yang tak jauh dari lokasi acara. Suami sabar menunggui saya sambil mengasuh ketiga anak kami yang masih kecil-kecil. Itulah bentuk dukungan suami kepada saya. Termasuk ketika saya ganti ke domain pribadi di blog www.leylahana.com, suami juga yang mengutak-atiknya, meskipun dia sebelumnya tidak  mengerti IT. 

Karena itulah, saya merasa diberkahi  memiliki suami yang mendukung karir kepenulisan saya. 

Di bulan Agustus ini, begitu penuh harapan saya untuk kesehatan, kebahagiaan, dan keselamatan suami di dunia dan akhirat. Semoga dia tetap menjadi suami yang diberkahi. Aamiin…. Tulisan ini sekadar untuk mensyukuri nikmat Allah Swt yang begitu besar bagi saya, karena kehadiran seorang suami sangat berarti.

12 comments:

  1. Hiks jadi pengen punya suami juga nih mak hwaaa

    ReplyDelete
  2. Masyaallah...rezeki banget ya mbak punya suami kaya gitu...
    Betewe... buku baru tuh? Kerenn..... :)

    ReplyDelete
  3. Benar2 berkah yaa punya suami. Yg pengertian

    ReplyDelete
  4. selamat atas kerberkahan yang mbak Ela terima, semoga sakinah mawaddwah warohmah hingga ke jannah :)

    ReplyDelete
  5. mbaa.... suami saya pun selalu membantu saya dlm pengasuhan anak, karena memang sama2 berkewajiban utk itu. Makanya anak2 saya dekat banget sama suami :)

    ReplyDelete
  6. suami setia ya mendukung pekerjaan dan aktivitas istri juga mau mengantar

    ReplyDelete
  7. senang ya kalau suami mendukung apa yang kita sukai

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah suami saya juga pengertian dan sabar banget dengan saya, Mbak.. suka bantu masak an nyuci pas wiken. trus bilang kalau nanti saya hami dan punya anak gak perlu pembantu cukup beliau saja yg membantu saya.. bahagiaaaa

    ReplyDelete
  9. Waaah suaminya mendukung banget yaa semua semuanyaaa.. Alhamdulillah :D

    ReplyDelete
  10. wah salut mba... dan sdikit iri baca cerita mu :).. memang sih komunikasi itu ptg bgt ya... tp dlm kenyataannya, kok ya susah dipraktekkan -__-..

    ReplyDelete
  11. wah ... saya baca judulnya aja udah terharu mbak , bagaimana kalau baca isi nya ... ehmmmm

    ReplyDelete
  12. semoga suamiku bisa seperti itu , ...........amin

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^