Monday 13 April 2015

Meneladani Rasulullah SAW dalam Kehidupan Sehari-hari

Sabtu, 11 April 2015, saya menghadiri pengajian wali murid di sekolah Ismail dengan tema seperti di judul postingan ini. Biar tidak lupa, saya tulis pemaparan Ustadz Muhsin, Lc di sini. Temanya memang seperti di atas, tetapi Pak Ustadz lebih banyak membahas tentag kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW. Bagaimana Rasulullah SAW menjalin hubungan dengan istri-istrinya, yang harus kita teladani jika ingin menggapai rumah tangga sakinah, mawaddah, warrahmah. Pak Ustadz memaparkan kewajiban suami istri di dalam Islam. Sesungguhnya Islam itu mudah, aturan-aturannya tidak untuk menyusahkan. Oleh karena itu, ada pembedaan yang tegas antara kewajiban suami dan kewajiban istri. 


Kewajiban suami adalah mencari nafkah dan membimbing anak istrinya agar taat kepada Allah Swt. Mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Istri tidak memiliki kewajiban mencari nafkah. Itu adalah salah satu penghormatan yang diberikan Allah Swt kepada kaum wanita. Tugas dan kewajiban kaum wanita sudah berat: mengandung, melahirkan, mengasuh anak, mengurus rumah tangga, melayani suami. Jika masih ditambah dengan mencari nafkah, tentu menjadi lebih berat lagi. Makanya, Islam tidak mewajibkan para istri untuk mencari nafkah. Akan tetapi, setiap rumah tangga memiliki jalannya masing-masing. Ada kalanya (bahkan tak sedikit) istri yang ikut mencari nafkah. Kalau sudah begitu, nafkah yang diberikan istri kepada suaminya itu dapat diartikan salah satu dari tiga berikut ini:

Hutang: suami berhutang kepada istri, yang harus dibayar. Kalau tidak, akan ditagih di akhirat. Serem juga ya, berarti istri harus tegas nih menjelaskan apakah nafkah yang diberikannya kepada suami itu termasuk hutang? Misalnya saja, istri mengeluarkan uang untuk biaya kebutuhan sehari-hari, membeli rumah, kendaraan, biaya sekolah anak-anak, yang mana itu adalah kewajiban suami. Kalau istri menganggap itu hutang, berarti suami harus membayarnya kalau sudah punya uang  kelak. 

Sedekah: Apabila suaminya miskin dan istrinya kaya, lalu istri memberikan nafkah kepada suaminya, istri mendapatkan pahala sedekah. Tuh, enak bener ya jadi istri muslimah. Ngasih uang ke suami, dihitung sedekah. 

Hadiah: Apabila suaminya kaya dan istrinya tetap bekerja, lalu sebagian penghasilannya dipakai untuk kebutuhan keluarga, bisa dianggap sebagai hadiah istri untuk suaminya.

Dengan demikian, di dalam Islam, mestinya tidak ada yang namanya HARTA GONO GINI. Dari awal menikah, tidak ada percampuran harta suami istri. Suami mestinya membeli rumah, kendaraan, dan sebagainya dengan uang sendiri. Istri pun demikian. Kedua harta itu tidak tercampur. Suami memberi nafkah kepada istrinya SECUKUPNYA. Bukan uang suami diberikan semua kepada istrinya. Jadi, kalau mereka bercerai, tinggal dipisahkan saja mana harta suami, mana harta istri. Secara hukumnya sih begitu. Prakteknya, tentu banyak yang tidak seperti itu. Diatur sendiri saja bagaimana baiknya hehehe.... 

Lalu, apa kewajiban istri? Kewajiban istri hanya 9, tapi tidak semuanya saya ingat. Kewajiban yang pertama adalah TAAT kepada suami. Kedengerannya mudah, tapi prakteknya sulit. Saya sendiri sering membangkang perintah suami. Misalnya, suami bilang, "Mah, udah dong facebookannya...." Saya masih suka cemberut dan tetap facebookan, hehehe.... Mudah-mudahan ke depannya, saya bisa lebih taat kepada suami. Jika istri sudah taat kepada suami, masalah rumah tangga akan teratasi dengan sendirinya. Saya pernah dengar cerita tentang istri yang tidak mau ikut suaminya pindah tugas ke daerah lain, padahal suaminya meminta istrinya untuk ikut. Istrinya memilih LDR (Long Distance Relationship). LDR sih tak masalah jika suami istri sepakat. Tapi, kalau suaminya tidak sepakat dan minta istrinya untuk ikut dan istrinya tidak taat, akibatnya harus ditanggung sendiri. Akhirnya, suaminya menikah lagi dengan perempuan dari tempatnya bertugas dan malah tidak pulang-pulang lagi kepada istri pertamanya. 

Menurut Pak Ustadz, rumah tangga islami yang ideal adalah:

Suami bekerja mencari nafkah, istri di rumah mengasuh anak-anak.
Suami bisa mempekerjakan orang lain di rumahnya (pembantu rumah tangga), agar pekerjaan istri lebih ringan.
Istri tugasnya hanya "nangkring" dan memenuhi panggilan suami bila dipanggil. Sehingga, tak ada yang namanya istri mengeluh capek bila suami minta dilayani. Sebab, hal ini benar-benar penting. Istri tidak boleh menolak melayani suaminya, akibatnya bisa gawat. Bila suaminya salih, penundaan hubungan suami istri bisa menyebabkan kanker prostat. Bila suaminya tidak salih, ya bisa "jajan" di luar. Mau? 

Kenyataannya, memang tidak semua rumah tangga dapat mewujudkan rumah tangga ideal seperti ini. Masih banyak suami yang membutuhkan dukungan finansial dari istrinya, dan banyak juga istri yang memang ingin bekerja untuk kemandirian finansial. Ada peserta yang bertanya, bagaimana jika suami bekerja dari rumah sambil mengurus anak-anak, sedangkan istrinya bekerja di luar rumah? Suatu ketika, ada teman suami yang memergoki dan mengolok-olok lelaki itu dengan sebutan "suami salihah." 

Tentu saja, menurut Pak Ustadz, kondisi itu mengandung banyak fakta salah. Risiko diolok-olok dengan sebutan "suami salihah" mau tidak mau harus ditanggung. Kecuali yang terjadi sebaliknya: suami kerja di luar, istri kerja dari rumah. Atau, keduanya bekerja dari rumah. Atau, istri sudah mengurusi semua keperluan anak-anak sebelum berangkat bekerja, agar suaminya tidak harus menggantikan pekerjaan istri. 

Di dalam rumah tangga, Rasulullah SAW mengurusi dirinya sendiri. Dengan kata lain, kalau mau makan ya ambil sendiri, cuci baju sendiri, menjemur pakaian sendiri, menjahit pakaian bolong sendiri, dan lain-lain. Kenyatannya, di dalam budaya kita, suami maunya dilayani. Padahal, yang dimaksud "dilayani" hanya dalam hal hubungan suami istri lho. Jadi, jika ingin meneladani Rasulullah SAW, suami mestinya mampu melayani dirinya sendiri. Akan tetapi, bukan berarti suami menggantikan tugas istri. Apa yang menjadi tugas istri, haruslah dilakukan oleh istri. Misalnya, mengurus keperluan anak-anak. 

Bagaimana dengan Poligami? Banyak orang mengatakan bahwa poligami adalah sunah Rasulullah SAW, padahal tidak demikian. Monogami dan Poligami sama-sama sunah Rasulullah SAW. Jelasnya, sunah Rasulullah SAW adalah menikah. Mau itu pernikahan dengan satu istri atau banyak istri, keduanya sunah. Yang paling utama adalah menggapai rumah tangga sakinah, mawaddah, warrahmah. Kalau poligami tapi tidak adil dan banyak yang tersakiti pun bisa membawa pelakunya ke dalam neraka. Mau? 

Masih banyak lagi pemaparan Pak Ustadz yang bahasannya humoris dan cenderung kepada kaum istri ini. Biasanya kan kalau dengerin ceramah dari Ustadz, selalu saja para istri yang ditekankan kewajibannya. Harus ini, harus itu. Suami bak raja. Tapi, Ustadz yang satu ini justru sebaliknya. Beliau banyak menyebutkan kemuliaan-kemuliaan seorang istri di dalam Islam. Jadi, ketagihan ikut pengajian kayak gini :D





4 comments:

  1. Sama, Mak, saya juga masih suka membangkang sama suami.
    Terimakasih udah diingatkan :)

    ReplyDelete
  2. nice share Ela..aku tuh suka merasa cape sendiri..padahal mungkin suami jg cape..intinya kurang dikomunikasikan kalau kita ingin saling tolong menolong...

    ReplyDelete
  3. Hehe. Biasanya memang pengajian kadang ustadnya malah menekankan ttg poligami. :)) padahal rumah tangga rasulullah tidak hanya seputar itu saja. Makasih sharingnya, bun.

    ReplyDelete
  4. Baru tahu ada istilah "suami salihah", he-he-he. Di daerah Solo, Jawa Tengah, banyak suami yang kerjaannya cuma mengurus buruk perkutut di rumah, sementara istrinya pergi mencari uang ke pasar.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^