Monday 9 December 2013

Dokter-Dokter Twitter yang Berdedikasi



“Anakmu diimunisasi, gak?”

Pertanyaan dari seorang sahabat saya itu langsung membuat saya terheran-heran. Sekalipun terpisah jarak, kami masih berhubungan melalui telepon, apalagi memakai operator seluler yang sama sehingga tarif teleponnya sangat murah. Kebetulan kami sama-sama baru melahirkan. Bedanya, saya melahirkan anak kedua, dia melahirkan anak pertama. Itu karena saya menikah setahun lebih dulu dari dia.


“Ya iya dong diimunisasi, kan wajib…” jawab saya. Anak pertama saya juga diimunisasi. Setahu saya, imunisasi dasar sampai usia sembilan bulan memang diwajibkan. Sudah otomatis bayi-bayi yang baru dilahirkan mendapatkan jadwal imunisasi dari dokter dan bidan yang membantu persalinan. Begitu juga dengan bayi saya.

“Anakku enggak. Imunisasi itu haram lho, soalnya bahan-bahannya dari babi. Imunisasi itu hasil konspirasi zionis. Orang Yahudi sengaja membuat vaksin untuk melemahkan anak-anak kita. Vaksin itu isinya racun!” keterangan dari teman saya itu spontan membuat saya terbengong-bengong. Dia begitu bersemangat menjelaskan tentang keharaman vaksin dan mengatakan bahwa dia membacanya dari buku yang ditulis oleh seorang peneliti vaksin. Dia menyuruh saya untuk membeli buku itu.

Setelah mendengar pemaparannya, apakah saya jadi tidak mengimunisasi bayi saya? Rupanya penjelasan teman saya itu masih belum memuaskan buat saya. Menurut akal logika saya, jika vaksin itu mengandung racun dan haram, mengapa pemerintah menganjurkannya dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) tidak mengharamkannya? Tidak mungkin kan pemerintah mau membunuh semua rakyatnya dengan vaksin? Teman saya mengatakan, MUI mungkin sudah dibayar oleh Yahudi dan kita tidak boleh percaya kepada MUI karena mereka bekerja hanya untuk uang. Nah, pernyataan itu menimbulkan pertanyaan lanjutannya. Mengapa ucapan teman saya itu mengandung prasangka buruk yang belum tentu kebenarannya? Apakah dia sudah menanyakan kepada orang-orang di MUI bahwa mereka dibayar? Bukankah sebagai muslim kita tidak boleh berprasangka buruk?

Akhirnya, saya tetap mengimunisasi anak saya setelah berdiskusi bersama suami. Suami membantu mencarikan informasi yang lebih terpercaya, bukan “katanya-katanya,” salah satunya melalui twitter. Rupanya suami memfollow dokter-dokter twitter yang ramah-ramah dan bersedia menjawab semua pertanyaan pasien melalui akun sosial media itu. Bahkan, kemudian saya mengetahui bahwa buku antivaksin yang digadang-gadang oleh teman saya itu, bukan ditulis oleh seorang peneliti vaksin, melainkan  oleh seorang penjual obat-obatan herbal lulusan fakultas ekonomi. Sumber penulisan buku itupun lebih banyak diperoleh dari internet dan berasal dari situs-situs penipu.  

Sistem kesehatan di Indonesia juga kurang tegas menindak oknum-oknum yang menganjurkan untuk tidak mengikuti program pemerintah. Misalnya, saja soal vaksinasi itu. Bayangkan, jika banyak masyarakat awam yang terpengaruh oleh kampanye antivaksin, bukan tidak mungkin kelak di Indonesia akan terjadi wabah penyakit yang berbahaya dikarenakan berkurangnya anak-anak yang divaksin. Berdasarkan cerita teman saya yang tinggal di Arab Saudi, anak-anak yang tidak divaksin tidak diperkenankan mendaftar ke sekolah. Setiap anak harus memiliki surat telah divaksin dari rumah sakit atau dokter untuk bisa mendaftar ke sekolah. Sedangkan di Indonesia belum ada peraturan semacam itu.

Di era digital ini, informasi begitu mudah tersebar. Ada kalanya benar, lebih banyak yang menjerumuskan. Saya mulai aktif menggunakan sosial media setelah kelahiran anak kedua. Rupanya banyak sekali ilmu yang dibagikan seputar pengurusan anak oleh orang-orang yang berdedikasi, diantaranya dokter. Saya memang menjadi lebih sering bersinggungan dengan dokter setelah memiliki anak-anak. Dari mulai hamil, melahirkan, sampai merawat anak-anak, dokter anak adalah orang yang paling sering saya kunjungi.

Pro kontra vaksin cukup hangat di internet. Kalau kita tidak mencari informasi dari sumber terpercaya, bisa-bisa kita mengambil pilihan yang salah. Saya bersyukur ada beberapa orang dokter yang aktif di sosial media seperti twitter dan facebook untuk meluruskan pemahaman yang salah mengenai vaksin dan hal-hal lain seputar pengurusan anak. Tentu saja mereka tidak dibayar. Bayangkan, mereka mau menyisihkan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para orang tua yang bingung mengenai masalah-masalah kesehatan anak-anak mereka. Diantaranya adalah:

Dr. Piprim B. Yanuarso (@dr_piprim)                            
Beliau adalah seorang dokter anak, pendiri rumah vaksinasi. Beliau rajin memberikan edukasi kepada para orang tua mengenai pentingnya vaksinasi. Linimasanya ramai oleh pertanyaan-pertanyaan para orang tua yang masih gamang mengenai kehalalan dan pentingnya vaksinasi. Sebagai seorang muslim yang taat, beliau tidak akan menjerumuskan para orang tua, sebab dengan berlatar belakang ilmu pengetahuan yang dimilikinya, beliau yakin bahwa vaksin itu aman dan halal. Jika sekarang sudah tidak banyak kasus-kasus penyakit mematikan seperti polio, campak, dan sebagainya, itu adalah bukti keberhasilan program imunisasi di seluruh dunia. Dikhawatirkan, bila para orang tua tidak mau memvaksin anak-anaknya, kelak penyakit-penyakit mematikan itu akan muncul lagi karena tidak ada imunitas yang dimiliki oleh generasi mendatang. Di tengah kesibukannya sebagai dokter, beliau mau melayani pertanyaan-pertanyaan para orang tua di twitter. Rumah vaksinasi yang didirikannya melayani imunisasi dengan biaya yang lebih murah demi tercapainya program imunisasi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dr. Dirga  Sakti Rambe (@dirgarambe)
Senada dengan dr. Piprim, dr. Dirga juga melayani pertanyaan-pertanyaan seputar vaksinasi karena latar belakang pendidikannya sebagai spesialis vaksinasi. Tak perlu sungkan untuk menanyakan seputar imunisasi kepadanya, dan tak perlu menyediakan biaya apa pun untuk konsultasi gratis itu. Beliau akan menjawab semua pertanyaan dengan senang hati, bahkan disertai candaan-candaan yang mengandung keakraban. Stigma mengenai dokter yang galak, judes, tidak ramah, akan terpatahkan setelah berkomunikasi dengannya.

Dr. Bram Irfanda (@dr_BramIrfanda)
Dokter yang satu ini sering memberikan kuliah twitter (kultwit) seputar masalah kesehatan secara umum. Kultwit-kultwitnya sangat mencerahkan dan menambah pengetahuan. Diantara kultwit yang pernah saya ikuti adalah tentang penyakit diabetes, hipertensi,  kanker, depresi, keamanan obat herbal, dan lain sebagainya. Beliau begitu rajin membagi ilmu disertai anjuran untuk beribadah.

Dr. Tiwi (@drtiwi)
Dokter Tiwi lebih banyak membahas mengenai pentingnya ASI dan MPASI rumahan. Promo yang gencar dari produsen susu formula membuat banyak ibu mengambil jalan pintas dengan memberikan susu formula kepada bayi-bayi mereka tanpa disertai kesulitan memberikan ASI.  Padahal, pemerintah sudah mengkampanyekan ASI Eksklusif enam bulan. Pemberian susu formula kepada bayi di bawah enam bulan, tentu saja sangat memprihatinkan bila sang ibu nyatanya mampu memberikan ASI. Bagaimanapun, kandungan ASI lebih baik daripada susu formula. Itulah mengapa, dr. Tiwi merasa perlu untuk memberikan edukasi kepada para orang tua mengenai pentingnya ASI.

Sebenarnya ini aneh mengingat banyak dokter dan bidan yang bekerjasama dengan produsen susu formula agar bayi diberikan susu formula. Ini bukan sekadar tuduhan tanpa sadar. Sewaktu saya melahirkan anak pertama, bidan yang membantu kelahiran itu, melarang saya memberikan ASI bila ASI-nya belum keluar. Alasannya, agar saya beristirahat saja. Bayi saya pun mendapatkan susu formula sampai ASI benar-benar keluar. Ketika pulang dari bidan, saya mendapatkan satu kotak susu formula secara gratis. Promosi terselubungkah?

Kejadian itu cukup membuat saya bertanya-tanya karena saya pernah membaca mengenai IMD (Inisiasi Menyusui Dini) yang juga digalakkan oleh pemerintah. Sayangnya, waktu itu saya belum cukup  tegas sebagai orang tua. Saya masih lebih percaya tenaga medis, dalam hal ini bidan. Syukurlah, orang tua dan suami mendukung pemberian ASI, jadi bayi saya tetap mendapatkan kolostrum. Susu formula yang diberikan oleh bidan tersebut, akhirnya dijadikan campuran untuk membuat kue oleh ibu mertua.

Keberadaan dokter-dokter twitter itu sangat membantu para orang tua yang masih awam dalam mengasuh anak. Luar biasa mereka meluangkan waktu yang sangat sedikit untuk membalas mention dari para follower yang ribuan banyaknya. Lihatlah jumlah follower mereka yang begitu banyak. Dr. Piprim memiliki 36,4 ribu followers , dr. Tiwi memiliki 61,4 ribu followers, dr. Bram Irfanda memiliki 34, 9 followers, dr. Dirga memiliki 13,2 ribu followers.  Mereka tidak dibayar untuk melayani pertanyaan-pertanyaan para followers yang mungkin lebih cerewet daripada pasien asli yang datang ke klinik. Jadi, tidak benar bila semua dokter itu materialistis dan hanya memikirkan keuntungan. Ada yang benar-benar berdedikasi, seperti para dokter twitter di atas itu.


11 comments:

  1. kapan hari nyimak yang di tvone tapi bentar g smpe habis,nggak semua sih mengandung minyak babi..sebagian kecil....etapiii,mkasih mbk info akun twitter para dokternya hehehe,,,siapa tau nambah ilmu,pastinyaaa hehhe

    ReplyDelete
  2. Calon juara nih. Mantap mbak Leyla

    ReplyDelete
  3. Barakallah buat dokter2 itu. Salut :)
    Moga sukses ya mbak Leyla, ikut mengaamiinkan komen mbak Ika

    ReplyDelete
  4. wah saluut, model dokter yg diidamkn masa kini :) good luck mak :)

    ReplyDelete
  5. iya, bun. ada juga temen dokter yang bikin twitter dan blog khusus untuk konsul seputar gigi.

    ReplyDelete
  6. nice post mbak.. aku jg bukan antivaksin, segitunya berprasangka sm pemerintah.. ngerii prasangka itu.
    tapi anakku yg fahri anaknya trauma suntik krn 2x opname DBD, jd berulang kali waktunya vaksin nggak bisa disuntik, berontak hebat sampe pegel sy sama ayahe :(.. padahal dia rentan sakit huhu kekebalannya tdk seperti adiknya zahra., jd saya nyoba niru pengganti vaksin dan imun ala teman2 walimurid bercadar yg nggak mau vaksin, pake sari kurma dan madu.. usaha demi anak sih mbak

    ReplyDelete
  7. Mau follow dokternya, makasih sharingnya Mbk.

    ReplyDelete
  8. Hana: yg sudah diwajibkan pemerintah insya Allah halal.

    Mba Ika: Aamiin.. *teriak kenceng.

    Mba Niar: Aamiin...

    Hana Nuranini: makasih yaa :-)

    Rodamemm: Iya, Mak, makasih.

    Ila: Wah, harusnya kuwawancarai itu dokternya ya :D

    Binta: apa gak bisa disusul vaksinnya? Sayang banget ya.

    Mba Naqy, sip deh, yuk follow :-)

    ReplyDelete
  9. baarakallah, Bunda Leyla... artikelnya sangat bermanfaat. Selamat, jadi pemenang :)

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^