Tuesday 17 December 2013

Belajar Berhitung Melalui Aktivitas Berbelanja


“Kakak udah bisa ngitung sampai berapa?” tanya Om Farhan, Om-nya Ismail, adik suami saya. Waktu itu kami sedang berlibur ke rumah Nenek di Garut dan kebetulan ada Om Farhan. Ismail menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cepat.
“100 tambah 100?”
“200”
“200 tambah 600?”
“800”
“2000 tambah 2000?”
“4000.”
“Wah! Kakak udah bisa sampai ribuan, ya?! Hebat!” Om Farhan geleng-geleng kepala setelah semua pertanyaannya dapat dijawab oleh Ismail. Saya sendiri ikut takjub melihat perkembangan Ismail,  karena di sekolahnya belum sampai menghitung ribuan. Kecuali Ismail mempelajarinya dari tempat lain. Praktek, pastinya.

Memang, sehari-hari saya sering mengajak anak-anak berbelanja di warung dekat rumah ataupun di tukang sayur. Bisa dikatakan, saya amat jarang berbelanja sendirian. Salah satu atau bahkan semua anak, pasti ikut ibunya berbelanja. Kadang terasa ribet karena semua anak ikut ke warung. Kalau mereka sedang lengah, saya akan berlari ke luar sendirian, hehehe… tapi lebih seringnya mereka sadar ibunya mau ke luar rumah dan pasti ikuuut…..
Begitu juga dengan aktivitas belanja bulanan di supermarket. Anak-anak sudah pasti ikut semua, kalau gak ikut di rumah sama siapa, coba? Maklum, gak punya pengasuh anak. Ternyata kegiatan ini juga termasuk proses edukasi untuk anak-anak. Mereka jadi tahu transaksi perdagangan dan hitungan matematikanya. Pernah, di rumah, mereka mempraktekkan proses transaksi. Ismail yang berjualan, Sidiq jadi kasirnya.
Minggu lalu, kami pergi lagi ke supermarket. Ismail sibuk memperhatikan harga barang-barang yang ada di brandol. Sampai kemudian dia melihat makanan yang menarik perhatiannya. Duh, kelihatannya dia tertarik tuh. Insting seorang ibu memang gak bisa bohong. Dia pun menunjuk-nunjuk, daaan….
Pilih-pilih buah bersama Ayah
“Mah, itu harganya enam ribu, ya?” tanyanya ke arah makanan ringan yang dipajang di rak dengan posisi strategis sehingga menarik mata pengunjung. Saya tau benar itu makanan yang biasa saja, versi seribuannya pun ada. Yang bikin mahal hanya tempat cupnya itu, sedangkan isinya hanya sedikit. Saya pun tegas menolak membelikannya. Hoho… sudah pasti anak-anak langsung memberontak. Jadinya memang bukan hanya Ismail yang menginginkan makanan itu, Sidiq juga kepingin! Kacau, kan?
“Mahal ini Kak, harganya enam ribu…” kata saya.
“Enam ribu itu sedikit, kan?” tanya Ismail, kalem. Hahaha.. sedikit dari mana? Saya langsung mencari alternative pengganti yang harganya memang “sedikit.” Sepertinya yang dicari Ismail memang tempat cupnya itu. Syukurlah saya dapat makanan cup lain yang harganya lebih murah.
“Ini aja ya, Kak, harganya dua ribu tujuh ratus.” Saya menyodorkan makanan itu. Ismail memperhatikan angka yang tertera di brandolnya dengan seksama.
“Dua ribu tujuh ratus lebih murah ya dari enam ribu?” tanyanya sambil manggut-manggut. Dia pun setuju mengambil makanan itu, tapi…. Sidiq masih bersikeras mengambil yang harganya enam ribu!
“Dede maunya yang ini…!”
Bingung mau yang mana....
O-oow… Memang kalau sama adiknya ini perlu waktu lebih lama untuk membujuk. Saya tunjukkan deretan makanan cup seharga dua ribu tujuh ratus itu, memang jumlahnya lebih banyak daripada yang enam ribu. Syukurlah matanya menangkap tempat cup yng berwarna merah jambu (berhubung yang seharga enam ribu itu juga warna cupnya merah). Ah, lega deh anak-anak mau membeli yang lebih murah.
Perjalanan berbelanja pun diteruskan. Bersama ayahnya, mereka ikut memilih-milih barang. Ismail sering bertanya, “Kalau ini murah atau mahal, Mah?” Saya bukannya mengajarkan untuk selalu membeli yang murah, tapi membeli yang berkualitas dan murah heheh…. Harus berhati-hati juga dengan aktivitas berbelanja ini. Di satu sisi bisa mengajarkan anak-anak berhitung dan bertransaksi, tapi di sisi lain juga bisa menimbulkan budaya konsumtif. Untuk menghindarinya, perlu beberapa tips:
Pertama, jangan selalu menuruti permintaan anak untuk membeli sesuatu.
Kedua, ajarkan konsep mahal dan murah.
Ketiga, tunjukkan alternatif barang pengganti yang harganya lebih murah.
Keempat, ajarkan tentang bersikap hemat dalam berbelanja.
Kelima, beritahu bahwa jumlah uang kita tidak cukup untuk membeli semua barang yang diinginkannya.
Keenam, ajarkan menabung agar ia punya uang untuk berbelanja dengan uangnya sendiri.
Kadang-kadang ada saja sih “drama” yang menemani aktivitas berbelanja ini. Seperti saat Sidiq bersikeras membeli pasta gigi berhadiah mobil-mobilan. Tentu saja yang diincar hanya hadiah mobilnya. Tahu sendiri kalau hadiah begitu materialnya pasti murah dan gak lama pun rusak. Ayahnya menolak membelikan, malah disuruh beli mobil-mobilan saja yang materialnya lebih bagus. Terpaksa deh saya balik lagi ke dalam untuk mencari mainan itu, pfff….

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^